Minggu, 28 Desember 2014

Peranan ASEAN dalam Upaya Menyelesaikan Konflik Vietnam - Kamboja.


I.     Latar Belakang.
Kamboja adalah negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Negara ini memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada 19 November 1953 dan negara ini dipimpin oleh Pangeran Sihanoek. Pada masa kepemimpinan Pangeran Sihanouk Kamboja sudah bekerja sama dengan negara-negara barat terutama dengan Perancis dan Amerika Serikat. Sejak negara ini berdiri sudah banyak terjadi permasalahan di kamboja. Dari permasalahan kepemimpinan dalam Dewan Perwakilan Rakyat hingga permasalahan ekonomi yang di kuasai oleh keturunan bangsa Tiong Hoa dan vietnam.
Dengan dukungan dari Amerika Serikat banyaknya masalah yang terjadi, Lon Nol menteri pertahanan saat itu melakukan kudeta terhadap pemerintahan Pangeran Sihanouk, dengan beberapa alasan; pertama, Pangeran Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki wilayah Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena bertindak tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena Pangeran Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir, Pangeran dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga kerajaan.
Setelah berhasil menjatuhkan kepemimpinan Pangeran Sihanouk, di bawah kepemimpinan Lon Nol dan pengaruh Amerika Serikat, Kamboja menjadi negara yang sangat pro barat. Sikap terbuka Kamboja ini dimanfaatkan AS untuk membendung pengaruh Komunis yang sedang menjalar dikawasan Indochina dan Asia Tenggara. Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama. Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pemimpinnya. Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara beraliran komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia memutuskan hubungan dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan ini.
Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode.[1] Pada 1978, sebuah buku catatan resmi mencatat perkataan Kheu Samphan sebagai berikut, “3.000 orang meninggal karena salah bunuh; sebanyak 11 ribu mata-mata Vietnam terbunuh; sebanyak 30 ribu orang dibunuh oleh mata-mata Vietnam yang menyelundup masuk Kamboja. Ketika Vietnam melakukan invasi telah membunuh lebih dari 1,5 juta penduduk Kamboja.” Ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa Khmer Merah telah membunuh sedikitnya 1,5 juta orang lebih .[2]
Tepatnya tanggal 25 Desember 1978 merupakan saat yang menegangkan bagi Kamboja. Secara tiba-tiba, Vietnam melakukan invansi ke wilayah Kamboja. Serangan ini tentu mengejutkan Kamboja, juga negara-negara ASEAN lain, yang selama ini mengharapkan ZOPFAN (Zona Damai Bebas, dan Netral) terlaksana di wilayah Asia Tenggara.
Konflik ini tentu membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [3], sehingga selanjutnya akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja  itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dalam menyelesaikan konflik tersebut, ASEAN pun mengambil langkah dengan meminta bantuan Indonesia yang terbilang dekat hubungannya dengan Vietnam untuk menjadi Mediator /rekan bicara bagi ASEAN.
Diplomasi sebagai suatu cara konvensional yang secara general dilakukan dalam penyelesaian sebuahkonflik, termasuk Konflik Kamboja, memiliki pengertian sebagai sebuah cara dalam hubungan internasional dengan memakai jalan negoisasi daripada paksaan, propaganda, atau jalur hukum, untuk tujuan damai (misalnya mengumpulkan informasi atau menimbulkan maksud baik) yang secara sengaja maupun tidak sengaja direncanakan untuk sebuah negoisasi.[4]  Tujuan utama diplomasi adalah untuk menjamin keutuhan kedaulatan dan kemerdekaan negara serta menjaga sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berlaku.[5]
Sedangkan tugas utama diplomasi adalah melindungi kepentingan negara dan para warga negaranya di luar negeri, sebagai badan perwakilan (legal, symbolic, and social), pengamatan, dan pelaporan, juga yang paling penting negoisasi.[6]  Berbeda dengan fungsi utama diplomasi yaitu untuk menyelesaikan berbagai perbedaan internasional dengan penuh ketenangan lagi dan bersahabat melalui diskusi secara perundingan, yang diperlancar oleh hubungan-hubungan pribadi yang baik dan saling pengertian.[7]

1.1.       Identifikasi Masalah.
Dari hasil pemaparan latar belakang diatas dapat kita garis besarkan bahwa Konflik yang terjadi ini tentu membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [8], sehingga selanjutnya akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja  itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut.

1.2.       Rumusan Masalah .
Apa penyebab yang mendasari awal mulanya terjadi konflik Vietnam-kamboja ?
Apa peran ASEAN atas konflik Vietnam-Kamboja ?
Bagaimana pengaruh RRC (China), Uni Soviet dan Amerika dalam mempengaruhi Vietnam – Kamboja ?



1.3.       Tujuan Makalah.
            Tujuan saya dalam mengangkat kasus konflik Vietnam-Kamboja ini yaitu agar dapat mengetahui bagaimana atau sejauh apa peranan ASEAN dalam usahanya mengamankan negara-negara dalam cakupan regionalnya Asia Tenggara dan seperti apa dampak pengaruh-pengaruh atau keterlibatan suatu ideologi dalam memainkan perananya pada suatu negara yang ikut beraliansi pada pihak asing dengan ideologinya masing-masing dalam mengintervensi suatu negara.

1.4.                               Manfaat Penelitian.
            Dengan membahas kasus ini saya mencoba untuk mengajak teman-teman atau dosen dalam study Hubungan Internasional dapat mendiskusikan serta mempelajari awal mula terjadinya konflik antar negara dalam satu regional, serta mempelajari seberapa besar dampak dan bagaimana pengaruh pihak asing itu pada suatu Negara. Dan mengetahui tekhnik-tekhnik dalam penyelesaian konflik itu sendiri.
1.5.                               Tinjauan Pustaka.
Survey Literature
Ketakutan  Kamboja pada waktu itu terutama tertuju kepada Vietnam Selatan, tetapi juga kepada Vietnam Utara, karena persepsinya akan mengalami-nasib seperti kerajaan Champa yang dicaplok oleh Vietnam(annam).[9]
Menghadapi keadaan semacam itu, Pangeran Sihanouk pada tahun 1964 memberikan alasan kenapa kamboja lebih senang mendekati RRC daripada berhubungan baik dengan dua negara Vietnam paa masa itu. Antara lain Sihanouk menyatakan :
“.........., kita tidak ingin menjadi merah. Tetapi pada suatu saat nanti kita harus menerima hal itu karena kita tidak akan mampu menghindarinya; yaitu, membekali kita agar mampu mengamankan integrasi wilayah kita. Kita tidak ingin menjadi seperti Champa. Kita hanya ingin selalu memelihara bangsa Khmer dan bendera Khmer........”[10]
Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode. Pemerintahan DK bertanggung jawab terhadap pembunuhan dua juta penduduk Kamboja (dari 7 juta jumlah keseluruhan penduduk), diakibatkan tindakan eksekusi, kelaparan, penyakit, dan beban kerja yang berlebihan.
Rejim Pol Pot resmi dijatuhkan pada tanggal 7 Januari 1979, ketika Vietnam menginvasi Kamboja dan mendukung berdirinya People’s Republic of Kampuchea(PRK) yang dipimpin oleh Hun Sen. Invasi ini dilakukan sebagai reaksi atas beberapa kebijakan Pol Pot terhadap Vietnam: pertama, karena perlakuan rejim Pol Pot yang semena-mena terhadap sekitar 50 ribu keturunan Vietnam di Kamboja, hingga membuat banyak diantaranya melarikan diri ke Vietnam. Kedua, Tindakan Pol Pot yang menyerang wilayah Vietnam, baik dalam wilayah Kamboja Krom (wilayah Kamboja yang diperoleh Vietnam sebelum penjajahan Perancis), maupun ke wilayah Vietnam itu sendiri, telah memancing reaksi serangan balasan dari Vietnam.
Tindakan Vietnam tersebut mendapat tentangan dari ASEAN yang menganggap invasi tersebut malah akan semakin memperkeruh stabilitas keamanan di Kamboja dan tindakan tersebut sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip piagam PBB dan Deklarasi Bandung, yang meminta kepada seluruh anggota untuk menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas negara lain.
Di Internal Kamboja sendiri, bentuk penentangan terhadap invasi Vietnam dan PRK, muncul dari tiga partai besar; Demokratik Kampuchea, Khmer People’s National Liberation Front, dan FUNCINPEC, yang akhirnya memutuskan untuk berkoalisi dengan membentuk Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK), dengan Pangeran Sihanouk menjadi ketuanya. Kelompok ini mendapat dukungan oleh Cina, Amerika, dan ASEAN [11]
Konflik ini tentu membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet  , sehingga selanjutnya akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja  itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dalam menyelesaikan konflik tersebut, ASEAN pun mengambil langkah dengan meminta bantuan Indonesia yang terbilang dekat hubungannya dengan Vietnam untuk menjadi interlocuter /rekan bicara bagi ASEAN.
Sebagai bentuk pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, maka atas inisiatif Indonesia pada tanggal 9 Januari 1979 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja yang berperan sebagai Ketua ASEAN Standing Committee mengeluarkan suatu pernyataan yang menyesalkan peningkatan dan perluasan konflik antara kedua negara di Indocina, yang akan mempengaruhi “perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Asia Tenggara”.[12]  Dalam pernyataannya, Mochtar Kusumaatmadja meminta negara-negara ASEAN untuk:
“Strictly respect each other’s independence, souvereignty, territorial integrity and political system torefrain from using force or threatening to use force in their billateral relations, from interfering in each other’s internal affairs, and from carrying out subversive activities, directly or indirectly, againts each other to settle all differences between the countries by peacefulmeans through negotiations, in a spirit onequality, mutual understanding, and respect.” (Statement by the Indonesian Foreign Minister asChairman of the ASEAN Standing Committee on Escalation of the Armed Conflict between Vietnam and Kampuchea, Jakarta, 9 January 1979, dalam Documents on the Kampuchean Problem, 1979-1985).[13]
Walaupun dalam pidatonya tersebut tidak disebutkan secara eksplisit tentang masalah Indocina (Indonesia meminta agar nama Indocina tidak disebut agar pernyataan itu dapat bersifat umum dan dapat digunakan untuk kesempatan lain seperti misalnya dalam Piagam PBB dan Dasasila Bandung), namun sebenarnya pernyataan itu dikeluarkan sebagai reaksi atas invasi Vietnam pada Kamboja. Pidato ini kemudian menjadi dasar bagi pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri yangdiselenggarakan di Bangkok tiga hari kemudian (12 Januari 1979). Dalam pertemuan itu, para Menteri Luar Negeri meminta agar semua tentara asing segera ditarik kembali dari wilayah Kamboja. Namun permintaan itu tidak digubris oleh Vietnam.

II.                                  Kerangka Teori.
Teori Regionalisme.
Teori yang saya angkat dalam penelitian ini ialah teori regional, aliansi, dan hegemony yang dimana teori-teori tersebut mengaitkan atas permasalahan yang ada dan juga sebagai tolak ukur atas penentuan dari motif setiap permasalahan. Regionalisme mutlak merupakan suatu hal yang penting bagi tiap-tiap negara dalam satu kawasan atau wilayah yang saling berdekatan. Menurut Joseph Nye, – Sejumlah negara yang tersambung karena hubungan geografis dengan suatu tingkat ketergantungan (interdependensi) tertentu.
Regionalisme Interdependensi merupakan sebuah kategori teori dalam hubungan internasional untuk terbentuknya asosiasi antar negara atau pengelompokan berbasis region/kewilayahan. Dalam Hubungan Internasional, menunjuk pada “expression of a common sense of identity and purpose combined with the creation and implementation of institutions that express a particular identity and shape collective action within a geographical region.”[14] Disini ASEAN bertindak atas permasalahan yang terjadi pada negara anggotanya yang memang jelas-jelas masih dalam kawasan regionalnya Asia Tenggara.
Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.[15] Namun kedekatan geografis saja tidak cukup untuk menyatukan suatu negara dalam satu kawasan regional. Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.[16] Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan negara-negara menjadi suatu kawasan regional,dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.
Kerjasama, didefinisikan sebagai “tindakan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan”.[17] Kerjasama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerjasama berlembaga dan kerjasama tanpa lembaga. Kerjasama berlembaga adalah kerjasama yang dituangkan lewat lembaga-lembaga khusus dalam mana anggota-anggotanya sangat terikat pada lembaga-lembaga itu. Kerjasama seperti ini umumnya mempunyai ruang lingkup kawasan(region) atau sub-kawasan(sub-region), sehingga sering disebut sebagai regional grouping (pengelompokan regional) atau kerjasama regional.
Menyoal tentang kerjasama regional ini, ada baiknya kita sama-sama memahami dulu mengenai pengertian regional itu sendiri. Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.[18] Namun kedekatan geografis saja tidak cukup untuk menyatukan suatu negara dalam satu kawasan regional. Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.[19] Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan negara-negara menjadi suatu kawasan regional, dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.
Kerjasama regional merupakan salah satu jalan yang digunakan oleh banyak negara untuk membantu mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri juga persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antar negara. Kerjasama regional juga diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya konflik antarnegara. Terselenggaranya iklim hubungan yang lebih harmonis karena berkurangnya konflik itu, pada gilirannya diharapkan akan lebih mendorong lagi tercapainya usaha-usaha pembangunan nasional, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi.[20] Bagi kawasan Asia Tenggara, organisasi kerjasama regional yang paling menonjol adalah ASEAN (Association of South East Asian Nations) atau Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN hingga tingkat tertentu dipandang tidak saja mampu bertahan, tetapi juga mengalami kemajuan-kemajuan penting bagi kesejahteraan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam wilayah yang diliput oleh kerjasama regional ini.
Di Internal Kamboja sendiri, bentuk penentangan terhadap invasi Vietnam dan PRK, muncul dari tiga partai besar; Demokratik Kampuchea, Khmer People’s National Liberation Front, dan FUNCINPEC, yang akhirnya memutuskan untuk berkoalisi dengan membentuk Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK), dengan Pangeran Sihanouk menjadi ketuanya. Kelompok ini mendapat dukungan oleh Cina, Amerika, dan ASEAN [21]

2.1.                                Metode Penelitian.
Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan metode adalah proses, cara dan prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dapat dikatakan pula, suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Dalam penulisan penelitian ini sangat dibutuhkan data-data yang sifatnya menunjang dan melengkapi pembahasan dengan menggunakan metode penelitian.
Untuk menunjang metode penelitian ini, saya memakai eksploratif dan analisa yang dimana nanti akan dipaparkan seperti apa dan bagaimana atau sejauh apa peranan ASEAN dalam usahanya mengamankan negara-negara dalam cakupan regionalnya Asia Tenggara dan seperti apa dampak pengaruh-pengaruh atau keterlibatan suatu ideologi dalam memainkan perananya pada suatu negara yang ikut beraliansi pada pihak asing yang dengan ideologinya masing-masing. Sumber-sumber data yang didapat berupa data sekunder yaitu data yang berupa buku-buku, jurnal ilmiah dan sumber internet.

2.2.                          Jenis/Tipe Penelitian.
Jenis/Tipe Penelitian yang peneliti terapkan dalam penelitian ini adalah Penelitian Eksploratori yaitu sebagai berikut dimana dalam dalam pelaksanaan suatu penelitian, peneliti dalam meneliti lebih merinci pada suatu masalah yang memang ingin diteliti dan terfokus pada akar permasalahan itu.

2.3.                               Teknik Pengumpulan Data.
            Adapun disini peneliti dalam menggunakan teknik pengumpulan data yaitu Studi Dokumentasi dan Analisis Isi.
Studi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi. Dokumen dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu primer, jika dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami peristiwa dan sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini.
Analisis isi merupakan bahan yang dipelajari bisa berupa yang diucapkan atau bahan tertulis. Bahan yang dijadikan sumber data untuk analisis isi tidak hanya bahan pidato, tetapi juga dapat berupa buku harian, surat catatan kasus, dan semacamnya.
Adapun, tempat-tempat yang akan dikunjungi selama pengumpulan data, antara lain:
1.      Perpustakaan Center For International Studies (CSIS) di Jakarta
2.      Perpustakaan Freedom Institute di Jakarta
3.      Perpustakaan Universitas Kristen Indonesia
4.      Dan Lain-lainnya
2.4.                          Fokus Penelitian.
Fokus yang menjadi pokok dalam permasalahan yang saya teliti ialah menitik berat akan peranan ASEAN dalam menyelesaikan konflik yang terjadi tersebut, serta bagaiamana keterlibatan dari kedua ideologi dalam mempengaruhi kedua negara yaitu vietnam dan kamboja. Yang dimana sudah kita ketahui akan permasalahan yang terpapar pada latar belakang bahwa masalah ini menjadi sangat penting karena konflik ini membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [22], sehingga selanjutnya akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja  itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut, jadi ini yang menjadi daya atrik atas fokus penelitian saya.
2.5.                          Sistematika Penulisan.
Sistematika penulisannya , dibagi menjadi 4 bab yaitu :

Bab 1 : Latar belakang atau Pendahuluan
Isinya berupa seluk beluk mengenai konflik Vietnam-Kamboja dan juga sebagai pedoman untuk membuat pembahasan dari yang akan diteliti

Bab 2 : Kerangka teori
Isinya merupakan teori-teori yang akan dipakai sebagai penunjang untuk penelitian

Bab 3 : Pembahasan
Isinya yaitu berupa pembahasan hasil dari penelitian

Bab 4 : Penutup
Isinya berupak kesimpulan dari apa yang menjadi kajian atau yang diteliti serta berupa saran-saran dan pendapat mengenai hasil karya penelitian

III.            Penutup.
                    Konflik Kamboja yang terjadi karena adanya invasi Vietnam ke negara Mekong ini. Persepsi Indonesia mengenai Konflik Kamboja, baik dari segi Vietnam sebagai penginvasi maupun Kamboja sebagai yang diinvasi, memang berbeda dengan mayoritas negara anggota ASEAN lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi Indonesia untuk menjalankan tugasnya sebagai interlocuter  ASEAN dalam penyelesaian konflik Kamboja denganbaik.
                    Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN merasa memiliki kewajiban untuk ikut berkontribusi dalam penanganan penyelesaian konflik antara Vietnam dan Kamboja. Bersama-sama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia berusaha keras menciptakan perdamaian dan ditunjuk sebagai mediator dalam resolusi Konflik Kamboja. Sebagai mediator, Indonesia melalui Menlu-nya pada masa itu mengupayakan cara-cara yang dinilai cukup efektif untuk menciptakan perdamaian dengan cepat. Cara-cara tersebut antara lain dengan normalisasi hubungan AS-Vietnam dan usulan “12 Pasal”.
                    Selain itu, Indonesia juga mengadakan kunjungan ke Uni Soviet untuk membicaran Konflik Kamboja dan sekaligus membujuk Uni Soviet untuk memaksa Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja. Keberhasilan Indonesia ini dilanjutkan dengan penyelenggaraan JIM I di Bogor yang menghasilkan beberapa keberhasilan, yang akhirnya berbuntut pada kesediaan Vietnam menarik mundur pasukannya dari Kamboja. Keberhasilan JIM I juga diikuti oleh pelaksanaan JIM II yang  pada akhirnya melahirkan “19 Butir Pernyataan Konsensus Ketua JIM”.
                    Usaha yang dilakukan Indonesia dengan ASEAN pada akhirnya membuahkan keberhasilan dengan ditariknya pasukan Vietnam dari Kamboja, serta terciptanya perdamaian di kawasan AsiaTenggara, terutama kawasan Indocina.
Nama : Chandres Brilliant Sihombing
Nim : 12.707.500.11
Mata Kuliah : Tugas Ujian Multimedia

Daftar Pustaka.
Buku:

Berridge, G. R. 1995. Diplomacy, Theory, and Practice. London: Prentice Hall/Harvester
Wheatsheaf.
Ernawati, Nisa. Tanpa tahun. Dinamika Polugri Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya
dengan Peranan Indonesia dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan
Perkembangannya Hingga Tahun 1969. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
Frankel, Joseph. 1972. International Relations. London: Oxford University Press.
Luhulima, C. P. F. 1997. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta: Centre of Strategic and
International Studies.
Hettne, B. 2000.The New Regionalism: A Prologue. Dalam The New Regionalism and The
Future of Security Development, diedit oleh B. Hettne. London: Macmillan.
Hettne, B., dan Soderbaun. 2002. Theorizing the Rise of Regionnes. London: Routledge.
Holsti, K. J. 1992. International Politics: Framework for Analysis. New Jersey: Prentice
HallMinistry of Foreign Affairs. 1985. Bangkok.
Solidum, Estrelle D. 1974. Towards a Southeast Asian Community. Quezon City: University
of Philipines Press.
Snyder, Craig A. 2008. Contemporary Security and Strategy. Palgrave: Macmillan.
Strang, Lord. 1993. Foreign Affairs. Dalam Kiat Diplomasi, diedit oleh Jusuf Badri. Jakarta:
PustakaSinar Harapan.
Imelda Masni Juniaty Sianipar,MA Kuliah Pengantar Asia Pasifik ,Power Point
Regionalisme.
CSIS, Artikel analisa 1978 Konflik Vietnam-Kamboja.

Internet :

http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-
328496.html, diakses tanggal 15 januari 2014, pukul 19:25.
Potongan artikel dari http://m.epochtimes.co.id, diakses pada tanggal 07 desember 2013,
pukul 16:00




[1] http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html, diakses tanggal 15 januari 2014, pukul 19:25
[2] potongan artikel dari http://m.epochtimes.co.id, diakses pada tanggal 07 desember 2013, pukul 16:00
[3] C. P. F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International Studies, 1997), halaman 240.
[4] G.R. Berridge,  Diplomacy, Theory, and Practice, (London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995), halaman 1.
[5] K. J. Holsti, International Politics: Framework for Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), halaman 145.
[6] Joseph Frankel, International Relations, (London: Oxford University Press, 1972), halaman 99.
[7] Lord Strang, Foreign Office, dalam Jusuf Badri, ed., Kiat Diplomasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), halaman 23.
[8] C. P. F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International Studies, 1997), halaman 240.
[9] Lihat dalam Bernard K.Gordon Op. Cit. Khususnya halaman 55-56, Artikel analisa 1978 Konflik Vietnam-Kamboja, Perpustakaan-CSIS.
[10] Bagian dari pidato Pangeran Sihanouk pada tanggal 21 februari 1964 yang dikutip oleh Bernard K. Gordon, halaman 54, Artikel analisa 1978 Konflik Vietnam-Kamboja, Perpustakaan CSIS-Jakarta.
[11] Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html, artikel berita kompasiana.com, jam 19:25
[12] Nina Ernawati, Dinamika Polugri  Indonesia 1945-1966 dalam  Kaitannya dengan Peranan Indonesia  dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan Perkembangannya  Hingga Tahun 1969, Perpustakaan UI, (Skripsi Fakultas Sastra UniversitasIndonesia).
[13] Bangkok, Ministry of Foreign Affairs, 1985, halaman 73.
[14] Kuliah Pengantar Asia Pasifik ,Power Point Regionalisme, oleh Imelda Masni Juniaty Sianipar,MA
[15] Craig A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), halaman 228.
[16] B. Hettne dan Soderbaun, Theorizing the Rise of Regionnes, (London : Routledge, 2002), halaman 39.
[17] Estrelle D. Solidum, Towards A Southeast Asian Comunity, (Quezon City: Unv of Philipines Press, 1974), halaman  2.
[18] Craig A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), halaman  228.
[19] B. Hettne dan Soderbaun, Theorizing the Rise of Regionnes, (London : Routledge, 2002), hal.39.
[20] Nina Ernawati, Dinamika Polugri  Indonesia 1945-1966 dalam  Kaitannya dengan Peranan Indonesia  dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan Perkembangannya  Hingga Tahun 1969, (Skripsi Fakultas Sastra UniversitasIndonesia, tidak diterbitkan).
[21] Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html, artikel berita kompasiana.com diakses pada tanggal 15 januari 2014, jam 19:25
[22] C. P. F. Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International Studies, 1997), halaman 240.

1 komentar:

  1. MGM Casinos in Washington - DAGDR.COM
    Gambling and sports betting in Washington is now open. MGM Casinos 제주 출장샵 in Washington 광명 출장안마 has 충주 출장샵 reopened for the first time since 1996, Do MGM Casinos hold licenses for 구리 출장샵 non-U.S. residents?Who 거제 출장마사지 owns MGM Resorts Casino Hotel?

    BalasHapus