Kamboja adalah negara yang terletak di kawasan
Asia Tenggara. Negara ini memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada 19 November
1953 dan negara ini dipimpin oleh Pangeran Sihanoek. Pada masa kepemimpinan
Pangeran Sihanouk Kamboja sudah bekerja sama dengan negara-negara barat
terutama dengan Perancis dan Amerika Serikat. Sejak negara ini berdiri sudah
banyak terjadi permasalahan di kamboja. Dari permasalahan kepemimpinan dalam
Dewan Perwakilan Rakyat hingga permasalahan ekonomi yang di kuasai oleh
keturunan bangsa Tiong Hoa dan vietnam.
Dengan dukungan dari Amerika Serikat banyaknya
masalah yang terjadi, Lon Nol menteri pertahanan saat itu melakukan kudeta
terhadap pemerintahan Pangeran Sihanouk, dengan beberapa alasan; pertama,
Pangeran Sihanouk mengizinkan pasukan sementara Vietnam Selatan menduduki
wilayah Kamboja, dan hal tersebut jelas-jelas dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kedaulatan Kamboja. Kedua, Pangeran Sihanouk dianggap otoriter karena
bertindak tanpa memperhatikan Undang-Undang dan Konstitusi. Ketiga, karena
Pangeran Sihanouk bersifat pilih kasih terhadap keluarga dalam memilih
orang-orang yang akan duduk dalam kursi pemerintahan. Dan yang terakhir,
Pangeran dituduh membiarkan terjadinya korupsi diantara keluarga - keluarga
kerajaan.
Setelah berhasil menjatuhkan kepemimpinan
Pangeran Sihanouk, di bawah kepemimpinan Lon Nol dan pengaruh Amerika Serikat,
Kamboja menjadi negara yang sangat pro barat. Sikap terbuka Kamboja ini
dimanfaatkan AS untuk membendung pengaruh Komunis yang sedang menjalar dikawasan
Indochina dan Asia Tenggara. Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama.
Pada tahun 1975 Pemerintahan Khmer Republic dijatuhkan oleh Democratic
Kampuchea (DK) di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pemimpinnya.
Dibawah pemerintahan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara beraliran komunis
dan terisolir dari hubungan diplomatik. Ia memutuskan hubungan dengan
negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali
dengan Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan
ini.
Politik Luar Negeri yang di jalankan oleh
Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year Zero, yaitu revolusi
destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu
periode.[1] Pada 1978, sebuah buku
catatan resmi mencatat perkataan Kheu Samphan sebagai berikut, “3.000 orang
meninggal karena salah bunuh; sebanyak 11 ribu mata-mata Vietnam terbunuh;
sebanyak 30 ribu orang dibunuh oleh mata-mata Vietnam yang menyelundup masuk Kamboja.
Ketika Vietnam melakukan invasi telah membunuh lebih dari 1,5 juta penduduk
Kamboja.” Ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa Khmer Merah telah
membunuh sedikitnya 1,5 juta orang lebih .[2]
Tepatnya tanggal 25
Desember 1978 merupakan saat yang menegangkan bagi Kamboja. Secara tiba-tiba,
Vietnam melakukan invansi ke wilayah Kamboja. Serangan ini tentu mengejutkan
Kamboja, juga negara-negara ASEAN lain, yang selama ini mengharapkan
ZOPFAN (Zona Damai Bebas, dan Netral) terlaksana di wilayah Asia Tenggara.
Konflik ini tentu
membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur
tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung
memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [3], sehingga selanjutnya akan
terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal
diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana
notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda
dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun
dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dalam menyelesaikan
konflik tersebut, ASEAN pun mengambil langkah dengan meminta bantuan Indonesia
yang terbilang dekat hubungannya dengan Vietnam untuk menjadi Mediator /rekan bicara bagi
ASEAN.
Diplomasi sebagai suatu
cara konvensional yang secara general dilakukan dalam penyelesaian
sebuahkonflik, termasuk Konflik Kamboja, memiliki pengertian sebagai sebuah
cara dalam hubungan internasional dengan memakai jalan negoisasi daripada
paksaan, propaganda, atau jalur hukum, untuk tujuan damai (misalnya
mengumpulkan informasi atau menimbulkan maksud baik) yang secara sengaja maupun
tidak sengaja direncanakan untuk sebuah negoisasi.[4] Tujuan utama diplomasi adalah untuk menjamin
keutuhan kedaulatan dan kemerdekaan negara serta menjaga sistem politik,
sosial, dan ekonomi yang berlaku.[5]
Sedangkan tugas utama
diplomasi adalah melindungi kepentingan negara dan para warga negaranya di luar
negeri, sebagai badan perwakilan (legal, symbolic, and social), pengamatan, dan
pelaporan, juga yang paling penting negoisasi.[6] Berbeda dengan fungsi utama diplomasi yaitu
untuk menyelesaikan berbagai perbedaan internasional dengan penuh ketenangan
lagi dan bersahabat melalui diskusi secara perundingan, yang diperlancar oleh
hubungan-hubungan pribadi yang baik dan saling pengertian.[7]
1.1. Identifikasi Masalah.
Dari hasil pemaparan
latar belakang diatas dapat kita garis besarkan bahwa Konflik yang terjadi ini
tentu membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya
campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung
memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [8], sehingga selanjutnya akan
terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal
diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang dimana
notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik vietnam-kamboja itu memiliki ideologi yang sama-sama berbeda
dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis. Berbagai langkah pun
dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut.
1.2. Rumusan Masalah .
Apa penyebab yang
mendasari awal mulanya terjadi konflik Vietnam-kamboja ?
Apa peran ASEAN atas
konflik Vietnam-Kamboja ?
Bagaimana pengaruh RRC
(China), Uni Soviet dan Amerika dalam mempengaruhi Vietnam – Kamboja ?
1.3.
Tujuan Makalah.
Tujuan saya dalam mengangkat kasus
konflik Vietnam-Kamboja ini yaitu agar dapat mengetahui bagaimana atau sejauh
apa peranan ASEAN dalam usahanya mengamankan negara-negara dalam cakupan
regionalnya Asia Tenggara dan seperti apa dampak pengaruh-pengaruh atau
keterlibatan suatu ideologi dalam memainkan perananya pada suatu negara yang
ikut beraliansi pada pihak asing dengan ideologinya masing-masing dalam mengintervensi suatu
negara.
1.4.
Manfaat
Penelitian.
Dengan membahas kasus ini saya mencoba
untuk mengajak teman-teman atau dosen dalam study Hubungan Internasional dapat
mendiskusikan serta mempelajari awal mula terjadinya konflik antar negara dalam
satu regional, serta mempelajari seberapa besar dampak dan bagaimana pengaruh
pihak asing itu pada suatu Negara. Dan mengetahui tekhnik-tekhnik dalam
penyelesaian konflik itu sendiri.
1.5.
Tinjauan
Pustaka.
Survey Literature
Ketakutan Kamboja pada waktu itu terutama tertuju
kepada Vietnam Selatan, tetapi juga kepada Vietnam Utara, karena persepsinya
akan mengalami-nasib seperti kerajaan Champa yang dicaplok oleh Vietnam(annam).[9]
Menghadapi keadaan semacam itu, Pangeran Sihanouk pada
tahun 1964 memberikan alasan kenapa kamboja lebih senang mendekati RRC daripada
berhubungan baik dengan dua negara Vietnam paa masa itu. Antara lain Sihanouk
menyatakan :
“.........., kita tidak ingin
menjadi merah. Tetapi pada suatu saat nanti kita harus menerima hal itu karena
kita tidak akan mampu menghindarinya; yaitu, membekali kita agar mampu
mengamankan integrasi wilayah kita. Kita tidak ingin menjadi seperti Champa.
Kita hanya ingin selalu memelihara bangsa Khmer dan bendera Khmer........”[10]
Politik Luar Negeri
yang di jalankan oleh Demokratik Kampuchea ini disebut sebagai konsep Year
Zero, yaitu revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan
secara massal dalam suatu periode. Pemerintahan DK bertanggung jawab terhadap
pembunuhan dua juta penduduk Kamboja (dari 7 juta jumlah keseluruhan penduduk),
diakibatkan tindakan eksekusi, kelaparan, penyakit, dan beban kerja yang
berlebihan.
Rejim Pol Pot resmi
dijatuhkan pada tanggal 7 Januari 1979, ketika Vietnam menginvasi Kamboja dan
mendukung berdirinya People’s Republic of Kampuchea(PRK) yang
dipimpin oleh Hun Sen. Invasi ini dilakukan sebagai reaksi atas beberapa
kebijakan Pol Pot terhadap Vietnam: pertama, karena perlakuan rejim Pol Pot
yang semena-mena terhadap sekitar 50 ribu keturunan Vietnam di Kamboja, hingga
membuat banyak diantaranya melarikan diri ke Vietnam. Kedua, Tindakan Pol Pot
yang menyerang wilayah Vietnam, baik dalam wilayah Kamboja Krom (wilayah
Kamboja yang diperoleh Vietnam sebelum penjajahan Perancis), maupun ke wilayah
Vietnam itu sendiri, telah memancing reaksi serangan balasan dari Vietnam.
Tindakan Vietnam
tersebut mendapat tentangan dari ASEAN yang menganggap invasi tersebut malah
akan semakin memperkeruh stabilitas keamanan di Kamboja dan tindakan tersebut
sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip piagam PBB dan Deklarasi Bandung,
yang meminta kepada seluruh anggota untuk menghormati kemerdekaan, kedaulatan,
dan integritas negara lain.
Di Internal Kamboja
sendiri, bentuk penentangan terhadap invasi Vietnam dan PRK, muncul dari tiga
partai besar; Demokratik Kampuchea, Khmer People’s National Liberation
Front, dan FUNCINPEC, yang akhirnya memutuskan untuk berkoalisi dengan
membentuk Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK),
dengan Pangeran Sihanouk menjadi ketuanya. Kelompok ini mendapat dukungan oleh
Cina, Amerika, dan ASEAN [11]
Konflik ini tentu membuyarkan
harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan berakibat kembalinya campur tangan pihak
asing ke dalam wilayah Asia Tenggara. Invansi Vietnam langsung memancing
serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet
, sehingga selanjutnya akan terbuka pula kesempatan campur tangan
pasukan AS. ASEAN tentu tidak tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam
masalah regional ini. Yang dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil
dalam konflik vietnam-kamboja itu
memiliki ideologi yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis
dan liberalis. Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik
tersebut. Dalam menyelesaikan konflik tersebut, ASEAN pun mengambil langkah
dengan meminta bantuan Indonesia yang terbilang dekat hubungannya dengan
Vietnam untuk menjadi interlocuter /rekan bicara bagi ASEAN.
Sebagai bentuk pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, maka atas
inisiatif Indonesia pada tanggal 9 Januari 1979 di Jakarta, Menteri Luar
Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja yang berperan sebagai Ketua ASEAN
Standing Committee mengeluarkan suatu pernyataan yang menyesalkan peningkatan
dan perluasan konflik antara kedua negara di Indocina, yang akan mempengaruhi
“perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Asia Tenggara”.[12] Dalam pernyataannya, Mochtar Kusumaatmadja
meminta negara-negara ASEAN untuk:
“Strictly respect each other’s
independence, souvereignty, territorial integrity and political system torefrain from using force or threatening to use force in their
billateral relations, from interfering in each other’s internal affairs, and from carrying out subversive activities,
directly or indirectly, againts each other to settle all differences
between the countries by peacefulmeans through negotiations, in a spirit
onequality, mutual understanding, and respect.” (Statement by the Indonesian Foreign Minister asChairman of
the ASEAN Standing Committee on Escalation of the Armed Conflict between
Vietnam and Kampuchea, Jakarta, 9 January 1979, dalam Documents on
the Kampuchean Problem, 1979-1985).[13]
Walaupun dalam pidatonya
tersebut tidak disebutkan secara eksplisit tentang masalah Indocina (Indonesia
meminta agar nama Indocina tidak disebut agar pernyataan itu dapat bersifat
umum dan dapat digunakan untuk kesempatan lain seperti misalnya dalam Piagam
PBB dan Dasasila Bandung), namun sebenarnya pernyataan itu dikeluarkan sebagai
reaksi atas invasi Vietnam pada Kamboja. Pidato ini kemudian menjadi dasar bagi
pertemuan khusus para Menteri Luar Negeri yangdiselenggarakan di Bangkok tiga
hari kemudian (12 Januari 1979). Dalam pertemuan itu, para Menteri Luar
Negeri meminta agar semua tentara asing segera ditarik kembali dari wilayah
Kamboja. Namun permintaan itu tidak digubris oleh Vietnam.
II.
Kerangka Teori.
Teori Regionalisme.
Teori
yang saya angkat dalam penelitian ini ialah teori regional, aliansi, dan
hegemony yang dimana teori-teori tersebut mengaitkan atas permasalahan yang ada
dan juga sebagai tolak ukur atas penentuan dari motif setiap permasalahan.
Regionalisme mutlak merupakan suatu hal yang penting bagi tiap-tiap negara
dalam satu kawasan atau wilayah yang saling berdekatan. Menurut Joseph Nye,
– Sejumlah negara yang tersambung karena hubungan geografis dengan suatu
tingkat ketergantungan (interdependensi) tertentu.
Regionalisme
Interdependensi merupakan sebuah kategori teori dalam hubungan internasional
untuk terbentuknya asosiasi antar negara atau pengelompokan berbasis
region/kewilayahan. Dalam Hubungan Internasional, menunjuk pada “expression of
a common sense of identity and purpose combined with the creation and
implementation of institutions that express a particular identity and shape
collective action within a geographical region.”[14]
Disini ASEAN bertindak atas permasalahan yang terjadi pada negara anggotanya
yang memang jelas-jelas masih dalam kawasan regionalnya Asia Tenggara.
Region
atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan
geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.[15] Namun kedekatan geografis
saja tidak cukup untuk menyatukan suatu negara dalam satu kawasan regional.
Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu
didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.[16]
Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan negara-negara menjadi suatu
kawasan regional,dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.
Kerjasama,
didefinisikan sebagai “tindakan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu
tujuan”.[17]
Kerjasama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerjasama berlembaga dan
kerjasama tanpa lembaga. Kerjasama berlembaga adalah kerjasama yang dituangkan
lewat lembaga-lembaga khusus dalam mana anggota-anggotanya sangat terikat pada
lembaga-lembaga itu. Kerjasama seperti ini umumnya mempunyai ruang lingkup
kawasan(region) atau sub-kawasan(sub-region), sehingga sering disebut sebagai
regional grouping (pengelompokan regional) atau kerjasama regional.
Menyoal
tentang kerjasama regional ini, ada baiknya kita sama-sama memahami dulu
mengenai pengertian
regional itu sendiri. Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara
yang memiliki
kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.[18]
Namun kedekatan geografis
saja tidak cukup untuk menyatukan suatu negara dalam satu kawasan regional.
Hettne dan Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu
didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.[19]
Dengan demikian, untuk menjadikan sekumpulan negara-negara menjadi suatu
kawasan regional, dibutuhkan keterikatan geografis dan struktural.
Kerjasama
regional merupakan salah satu jalan yang digunakan oleh banyak negara untuk
membantu mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri juga persoalan-persoalan
yang menyangkut hubungan antar negara. Kerjasama regional juga diharapkan dapat
mengurangi kecenderungan terjadinya konflik antarnegara. Terselenggaranya
iklim hubungan yang lebih harmonis karena berkurangnya konflik itu, pada
gilirannya diharapkan akan lebih mendorong lagi tercapainya usaha-usaha
pembangunan nasional, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi.[20]
Bagi kawasan Asia Tenggara, organisasi kerjasama regional yang paling
menonjol adalah ASEAN (Association of South East Asian Nations) atau
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN hingga tingkat tertentu
dipandang tidak saja mampu bertahan, tetapi juga mengalami kemajuan-kemajuan
penting bagi kesejahteraan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, khususnya
dalam wilayah yang diliput oleh kerjasama regional ini.
Di
Internal Kamboja sendiri, bentuk penentangan terhadap invasi Vietnam dan PRK,
muncul dari tiga partai besar; Demokratik Kampuchea, Khmer People’s
National Liberation Front, dan FUNCINPEC, yang akhirnya memutuskan untuk
berkoalisi dengan membentuk Coalition Government of Democratic
Kampuchea (CGDK), dengan Pangeran Sihanouk menjadi ketuanya. Kelompok
ini mendapat dukungan oleh Cina, Amerika, dan ASEAN [21]
2.1.
Metode
Penelitian.
Metode
Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan metode adalah proses, cara dan prosedur
yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dapat dikatakan
pula, suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Dalam penulisan
penelitian ini sangat dibutuhkan data-data yang sifatnya menunjang dan
melengkapi pembahasan dengan menggunakan metode penelitian.
Untuk
menunjang metode penelitian ini, saya memakai eksploratif dan analisa yang dimana nanti akan
dipaparkan seperti apa dan bagaimana
atau sejauh apa peranan ASEAN dalam usahanya mengamankan negara-negara dalam cakupan
regionalnya Asia Tenggara dan seperti apa dampak pengaruh-pengaruh atau
keterlibatan suatu ideologi dalam memainkan perananya pada suatu negara yang
ikut beraliansi pada pihak asing yang dengan ideologinya masing-masing.
Sumber-sumber data yang didapat berupa data sekunder yaitu data yang berupa
buku-buku, jurnal ilmiah dan sumber internet.
2.2.
Jenis/Tipe
Penelitian.
Jenis/Tipe
Penelitian yang peneliti terapkan dalam penelitian ini adalah Penelitian
Eksploratori yaitu sebagai berikut dimana
dalam dalam pelaksanaan suatu penelitian, peneliti dalam meneliti lebih merinci
pada suatu masalah yang memang ingin diteliti dan terfokus pada akar
permasalahan itu.
2.3.
Teknik
Pengumpulan Data.
Adapun
disini peneliti dalam menggunakan teknik pengumpulan data yaitu Studi
Dokumentasi dan Analisis Isi.
Studi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan
kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam,
tidak hanya dokumen resmi. Dokumen dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu primer, jika
dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami peristiwa dan sekunder,
jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang
ini.
Analisis
isi merupakan bahan yang dipelajari bisa berupa yang diucapkan atau bahan
tertulis. Bahan yang dijadikan sumber data untuk analisis isi tidak hanya bahan
pidato, tetapi juga dapat berupa buku harian, surat catatan kasus, dan
semacamnya.
Adapun, tempat-tempat yang akan
dikunjungi selama pengumpulan data, antara lain:
1. Perpustakaan
Center For International Studies
(CSIS) di Jakarta
2. Perpustakaan
Freedom Institute di Jakarta
3. Perpustakaan
Universitas Kristen Indonesia
4. Dan
Lain-lainnya
2.4.
Fokus
Penelitian.
Fokus
yang menjadi pokok dalam permasalahan yang saya teliti ialah menitik berat akan
peranan ASEAN dalam menyelesaikan konflik yang terjadi tersebut, serta
bagaiamana keterlibatan dari kedua ideologi dalam mempengaruhi kedua negara
yaitu vietnam dan kamboja. Yang dimana sudah kita ketahui akan permasalahan
yang terpapar pada latar belakang bahwa masalah ini menjadi sangat penting
karena konflik ini membuyarkan harapan akan terlaksananya ZOPFAN dan
berakibat kembalinya campur tangan pihak asing ke dalam wilayah Asia Tenggara.
Invansi Vietnam langsung memancing serangan RRC dan mendatangkan Uni Soviet [22], sehingga selanjutnya
akan terbuka pula kesempatan campur tangan pasukan AS. ASEAN tentu tidak
tinggal diam pada campur tangan pihak asing dalam masalah regional ini. Yang
dimana notabene negara-negara luar yang ikut andil dalam konflik
vietnam-kamboja itu memiliki ideologi
yang sama-sama berbeda dan saling bertentangan, yaitu komunis dan liberalis.
Berbagai langkah pun dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan konflik tersebut,
jadi ini yang menjadi daya atrik atas fokus penelitian saya.
2.5.
Sistematika
Penulisan.
Sistematika
penulisannya , dibagi menjadi 4 bab yaitu :
Bab 1 : Latar belakang
atau Pendahuluan
Isinya
berupa seluk beluk mengenai konflik Vietnam-Kamboja dan juga sebagai pedoman
untuk membuat pembahasan dari yang akan diteliti
Bab 2 : Kerangka
teori
Isinya
merupakan teori-teori yang akan dipakai sebagai penunjang untuk penelitian
Bab 3 : Pembahasan
Isinya
yaitu berupa pembahasan hasil dari penelitian
Bab 4 : Penutup
Isinya
berupak kesimpulan dari apa yang menjadi kajian atau yang diteliti serta berupa
saran-saran dan pendapat mengenai hasil karya penelitian
III.
Penutup.
Konflik
Kamboja yang terjadi karena adanya invasi Vietnam ke negara Mekong ini.
Persepsi Indonesia mengenai Konflik Kamboja, baik dari segi Vietnam sebagai
penginvasi maupun Kamboja sebagai yang diinvasi, memang berbeda dengan
mayoritas negara anggota ASEAN lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi
Indonesia untuk menjalankan tugasnya sebagai interlocuter ASEAN dalam penyelesaian konflik Kamboja
denganbaik.
Indonesia
sebagai salah satu anggota ASEAN merasa memiliki kewajiban untuk ikut
berkontribusi dalam penanganan penyelesaian konflik antara Vietnam dan Kamboja.
Bersama-sama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia berusaha
keras menciptakan perdamaian dan ditunjuk sebagai mediator dalam resolusi
Konflik Kamboja. Sebagai mediator, Indonesia melalui Menlu-nya pada masa itu
mengupayakan cara-cara yang dinilai cukup efektif untuk menciptakan perdamaian
dengan cepat. Cara-cara tersebut antara lain dengan normalisasi hubungan
AS-Vietnam dan usulan “12 Pasal”.
Selain
itu, Indonesia juga mengadakan kunjungan ke Uni Soviet untuk membicaran Konflik
Kamboja dan sekaligus membujuk Uni Soviet untuk memaksa Vietnam menarik
pasukannya dari Kamboja. Keberhasilan Indonesia ini dilanjutkan dengan
penyelenggaraan JIM I di Bogor yang menghasilkan beberapa keberhasilan, yang
akhirnya berbuntut pada kesediaan Vietnam menarik mundur pasukannya dari
Kamboja. Keberhasilan JIM I juga diikuti oleh pelaksanaan JIM II yang pada akhirnya melahirkan “19 Butir Pernyataan
Konsensus Ketua JIM”.
Usaha
yang dilakukan Indonesia dengan ASEAN pada akhirnya membuahkan keberhasilan
dengan ditariknya pasukan Vietnam dari Kamboja, serta terciptanya perdamaian di
kawasan AsiaTenggara, terutama kawasan Indocina.
Nama : Chandres Brilliant Sihombing
Nim : 12.707.500.11
Mata Kuliah : Tugas Ujian Multimedia
Nama : Chandres Brilliant Sihombing
Nim : 12.707.500.11
Mata Kuliah : Tugas Ujian Multimedia
Daftar Pustaka.
Buku:
Berridge, G. R. 1995.
Diplomacy, Theory, and Practice. London: Prentice Hall/Harvester
Wheatsheaf.
Ernawati, Nisa. Tanpa tahun. Dinamika Polugri
Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya
dengan Peranan Indonesia dalam Pembentukan ASEAN (8
Agustus 1967) dan
Perkembangannya Hingga Tahun 1969. Skripsi Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
Frankel, Joseph. 1972. International Relations.
London: Oxford University Press.
Luhulima, C. P. F. 1997. ASEAN
Menuju Postur Baru. Jakarta: Centre of Strategic and
International Studies.
Hettne, B. 2000.The New Regionalism: A Prologue. Dalam
The New Regionalism and The
Future of Security Development, diedit oleh B.
Hettne. London: Macmillan.
Hettne, B., dan Soderbaun. 2002. Theorizing the Rise
of Regionnes. London: Routledge.
Holsti, K. J. 1992. International Politics: Framework
for Analysis. New Jersey: Prentice
HallMinistry of Foreign Affairs.
1985. Bangkok.
Solidum, Estrelle D. 1974. Towards a Southeast Asian Community. Quezon City: University
of Philipines Press.
Snyder, Craig A. 2008. Contemporary Security and
Strategy. Palgrave: Macmillan.
Strang, Lord. 1993. Foreign Affairs. Dalam Kiat
Diplomasi, diedit oleh Jusuf Badri. Jakarta:
PustakaSinar Harapan.
Imelda Masni Juniaty Sianipar,MA
Kuliah Pengantar Asia Pasifik ,Power Point
Regionalisme.
CSIS, Artikel analisa 1978 Konflik Vietnam-Kamboja.
Internet :
http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-
328496.html,
diakses tanggal 15 januari 2014, pukul 19:25.
Potongan artikel dari
http://m.epochtimes.co.id, diakses pada tanggal 07 desember 2013,
pukul 16:00
[1] http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html,
diakses tanggal 15 januari 2014, pukul 19:25
[2] potongan artikel dari http://m.epochtimes.co.id, diakses pada
tanggal 07 desember 2013, pukul 16:00
[3] C. P. F. Luhulima, ASEAN
Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International
Studies, 1997), halaman 240.
[4] G.R. Berridge, Diplomacy,
Theory, and Practice, (London: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf,
1995), halaman 1.
[5] K.
J. Holsti, International Politics:
Framework for Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), halaman 145.
[7] Lord
Strang, Foreign Office, dalam Jusuf
Badri, ed., Kiat Diplomasi,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), halaman 23.
[8] C. P. F. Luhulima, ASEAN
Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International
Studies, 1997), halaman 240.
[9] Lihat dalam Bernard K.Gordon Op. Cit. Khususnya halaman 55-56,
Artikel analisa 1978 Konflik Vietnam-Kamboja, Perpustakaan-CSIS.
[10] Bagian dari pidato Pangeran Sihanouk pada tanggal 21 februari 1964
yang dikutip oleh Bernard K. Gordon, halaman 54, Artikel analisa 1978 Konflik
Vietnam-Kamboja, Perpustakaan CSIS-Jakarta.
[11] Sumber: http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html,
artikel berita kompasiana.com, jam 19:25
[12] Nina Ernawati, Dinamika Polugri Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya dengan Peranan Indonesia dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan
Perkembangannya Hingga Tahun 1969,
Perpustakaan UI, (Skripsi Fakultas Sastra UniversitasIndonesia).
[15] Craig
A. Snyder, Contemporary Security and
Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), halaman 228.
[16] B.
Hettne dan Soderbaun, Theorizing the Rise of Regionnes, (London :
Routledge, 2002), halaman 39.
[17] Estrelle
D. Solidum, Towards A Southeast Asian
Comunity, (Quezon City: Unv of Philipines Press, 1974), halaman 2.
[18] Craig
A. Snyder, Contemporary Security and
Strategy, (Palgrave : Macmillan, 2008), halaman 228.
[20] Nina
Ernawati, Dinamika Polugri Indonesia 1945-1966 dalam Kaitannya dengan Peranan Indonesia dalam Pembentukan ASEAN (8 Agustus 1967) dan
Perkembangannya Hingga Tahun 1969,
(Skripsi Fakultas Sastra UniversitasIndonesia, tidak diterbitkan).
[21] Sumber:
http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot-328496.html,
artikel berita kompasiana.com diakses pada tanggal 15 januari 2014, jam 19:25
[22] C. P. F. Luhulima, ASEAN
Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre of Strategic and International
Studies, 1997), halaman 240.
MGM Casinos in Washington - DAGDR.COM
BalasHapusGambling and sports betting in Washington is now open. MGM Casinos 제주 출장샵 in Washington 광명 출장안마 has 충주 출장샵 reopened for the first time since 1996, Do MGM Casinos hold licenses for 구리 출장샵 non-U.S. residents?Who 거제 출장마사지 owns MGM Resorts Casino Hotel?